Senin, 20 Februari 2012

= Tanda hati

Friday, February 24, 2012

6:30pm
until 9:30pm

Tonyraka Art Gallery mengundang Teman-Teman untuk hadir di pembukaan pameran 4 perupa Bali ( I Wayan Sudarna Putra, I Ketut Suwidiarta, I Gusti Ngurah Buda, I Wayan Sandika) yang bertajuk TANDA HATI, pada Jumat, 24 Februari 2012, pukul 18.30 wita di Tonyraka Art Gallery,Jl. Raya Mas 86, Mas, Ubud, Bali.

Pameran akan berlangsung hingga 16 Maret 2012.

Sampai jumpa!

_________________________________________________________


Membaca “Tanda Hati” Empat Perupa


Setiap perupa harus memiliki persoalan atau gagasan yang hendak dituang ke hamparan kanvas sehingga menjadi karya yang memiliki nilai dan maknanya sendiri. Persoalan atau gagasan itu bisa berasal dari diri si perupa sendiri atau dari interaksi perupa dengan lingkungan sosial atau pergaulan yang lebih luas. Perupa yang kreatif selalu berupaya menyerap setiap persoalan atau gagasan yang mengusik pikiran dan perasaanya, yang kemudian mengendap menjadi bahan renungan, dan menyublim ke dalam bentuk-bentuk karya yang diciptakannya.
Pada akhirnya, setiap karya seni akan menjadi “tanda hati”, suatu jejak atau tilas yang lahir dari ruang renungan perupa terhadap berbagai persoalan atau gagasan. Tak hanya perupa, setiap manusia sebagai sosok individu juga memiliki tanda hatinya sendiri, sebagai ungkapan ekspresi di dalam menjelajahi ruang-ruang sosial dan budaya. Tanda hati adalah ekspresi sekaligus juga eksistensi. Dalam tataran kualitas-kualitas tertentu, setiap manusia adalah seniman. Bahkan, Tuhan pun adalah Seniman Agung yang mengkreasi jagad raya beserta isinya. Jadi, jelaslah tanda hati lahir dari kesadaran jiwa “yang tercerahkan” oleh berbagai rupa persoalan atau pun gagasan.
Pameran ini menampilkan “tanda hati” dari empat perupa, yakni I Ketut Suwidiarta, I Wayan Sandika, I Wayan Sudarna Putra dan I Gusti Ngurah Putu Buda. Mereka adalah perupa yang cukup lama berkecimpung di ranah seni rupa, dengan karya-karya yang memiliki karakter tersendiri dan mengusung persoalan atau gagasan yang beragam. Selain kemampuan teknis, bukankah setiap perupa harus memiliki gagasan atau persoalan yang hendak dituang ke dalam bentuk karya? Suatu karya tanpa gagasan hanyalah omong kosong, sama halnya dengan wadah tanpa isi. Bahkan sebidang lukisan abstrak pun harus mengandung suatu gagasan.
Gagasan tentu lahir dari tingkat kepekaan dan kecerdasan si perupa dalam menyerap, menyikapi, mengritisi berbagai fenomena yang terjadi, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Persoalannya sekarang adalah di bawah bayang-bayang kecanggihan teknik, dunia seni rupa kita malah miskin gagasan. Ke depan, perlu lebih banyak lahir gagasan-gagasan bernas sehingga seni rupa kita bisa diperhitungkan di tingkat internasional.
Agar tidak ngelantur terlalu jauh, ijinkan saya menjadi penyambung lidah empat perupa ini untuk menyuarakan gagasan-gagasan yang semayam di benak mereka, serta mengulas satu dua karya mereka. Sebagai benang merah, pameran “Tanda Hati” ini didasari upaya-upaya mengungkap fenomena-fenomena ironis maupun satir yang terjadi di berbagai lini kehidupan. “Tanda Hati” merupakan kesaksian perupa atas berbagai persoalan atau peristiwa yang mengusik nuraninya.
Tanda hati serta gagasan karya-karya Suwidiarta bersumber dari persoalan globalisasi yang hingga kini banyak menimbulkan fenomena baru. Batas-batas negara seolah tak ada. Dalam fenomena internet, misalnya, dunia menjadi seukuran layar laptop, tablet, ponsel. Warga negara menjadi warga dunia. Perlahan rasa nasionalisme terkikis. Negara tak lagi menjadi soko guru kehidupan. Orang-orang mencari formulasi baru dengan mencomot berbagai budaya dan filosofi. Suwidiarta berupaya merangkum berbagai persoalan dari latar-latar budaya yang berbeda, terutama persoalan hilangnya rasa kebangsaan. Fenomena ini memunculkan ironi, satir, parodi yang bisa kita saksikan lewat karya-karya seni rupanya.
Misalnya, pada lukisan berjudul “Triumph of Death” dan “Lost”, Suwidiarta memainkan berbagai ikon dan simbol lintas budaya dengan nuansa parodi yang kental. Sosok Gajah Mada berbalut kostum jenderal terlentang disangga anak-anak panah layaknya adegan Bhisma Gugur dalam epos Mahabarata, dikerubungi dan diratapi oleh tokoh-tokoh dari berbagai ras dan negara. Karya-karya ini merepresentasikan makin samarnya batas-batas mitos, epos, etnis, ras, budaya, negara, rasa nasionalisme, di tengah arus deras globalisasi yang terus mengalir hingga detik ini.
I Wayan Sandika meramu gagasan-gagasan karyanya dari persoalan yang paling dekat dengan diri manusia, yakni keluarga. Sandika merenungi kembali hakikat hubungan orang tua dan anak. Dalam psikologi anak diibaratkan kertas putih yang siap diisi dengan aneka warna kehidupan. Anak dengan mudah menyerap dan meniru perkataan dan perbuatan orang tuanya. Jika orang tua sering berkata kasar, maka dapat dipastikan anak pun akan suka berkata kasar. Begitu pula jika anak dididik dengan kasih sayang, maka anak akan tumbuh sesuai didikan orang tuanya.
Di tengah kesibukan orang tua, anak-anak sering terabaikan. Bahkan, mereka bisa tumbuh liar dengan menyerap atau meniru hal-hal yang tak pantas. Lukisan berjudul “Massage” dengan ironis menampilkan balita (bayi di bawah lima tahun) yang asyik merokok sambil berendam di bak air. Sebelumnya, di situs youtube pernah muncul video balita yang merokok. Mungkin maksudnya untuk lucu-lucuan, namun video itu dikecam masyarakat dunia sebagai suatu bentuk eksploitasi dan mengajarkan hal yang tak pantas pada anak-anak. Sementara itu, lukisan ini jelas tujuannya bukan untuk lucu-lucuan, melainkan terkandung suatu pesan agar hati-hati mendidik anak.
Ironi-ironi hubungan orang tua dan anak juga muncul dalam lukisan-lukisan Sandika yang lain. Pada lukisan “Single Parent”, Sandika menampilkan sosok wanita seksi menenteng dua bungkusan, masing-masing berisi boneka dan balita. Yang menjadi fokus sekaligus pesan pada lukisan ini adalah cara wanita itu memperlakukan anaknya sungguh jauh dari sifat seorang ibu yang penuh kasih sayang. Seringkali kesibukan mengejar karir berdampak pada telantarnya anak-anak. Di lukisan ini tampak si balita diperlakukan sama dengan benda atau boneka yang mudah ditenteng. Seolah si balita bukanlah manusia yang perlu dicurahi kasih sayang.
Tak banyak yang mampu mengenali dirinya sendiri. Sebab mengenali diri sendiri dan mengakui diri seutuhnya memerlukan kesiapan mental. Manusia sering dikendalikan oleh pencitraan diri dan seringkali bereaksi terhadap penilaian dari lingkungannya. Pencitraan diri adalah topeng yang sengaja dipakai manusia untuk menutupi keburukan atau kekurangannya. Perlu kesiapan mental dan kesadaran diri untuk membuka topeng-topeng itu sehingga manusia mencapai keutuhannya, memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Hal-hal inilah yang menjadi gagasan dan perenungan karya-karya I Wayan Sudarna Putra.
Seri lukisan terbaru Sudarna yang bertajuk “Si Buruk Rupa” merupakan bagian dari proses pengenalan dirinya sendiri. Ada pertanyaan besar yang terus menerus menjadi bahan renungannya: siapakah aku ? Tak henti dia memburu jati dirinya sebagai manusia. Representasi wajah-wajah buruk yang digubah dari wajahnya sendiri merupakan bentuk pengakuan ketaksempurnaan diri, semacam autokritik. Wajah-wajah itu tertempel di kaca, pipih, tak berbentuk, bahkan tampak menjijikkan. Menyimak karya-karya ini, saya jadi berpikir: sesungguhnya manusia adalah mahkluk yang paling menjijikkan, yang selalu berupaya meraih kesempurnaan.
Lewat representasi abstraksi yang cenderung kelam, I Gusti Ngurah Putu Buda menyuguhkan gagasan dan persoalan yang berkaitan dengan diri sendiri (konflik batin), konflik sosial, krisis global, dan berbagai peristiwa kelam yang terjadi akhir-akhir ini, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Berbagai persoalan dan peristiwa di dalam dan luar diri bersenyawa membentuk cara pandang yang cenderung pesimis. Seolah semua menghadapi kuldesak (jalan buntu), dan seakan tak ada solusi yang berarti. Namun, kalau direnungi lebih seksama, segala persoalan dan peristiwa pada akhirnya menempa manusia untuk berupaya menemukan celah-celah harapan, yang membuat manusia masih betah bertahan mengarungi kehidupan.
Begitulah. Karya-karya Gusti Buda yang cenderung menggunakan warna-warna gelap merupakan cerminan persoalan yang terjadi di dalam dirinya dan persoalan sosial yang lebih luas. Misalnya, lukisan “Dark Neast” bertolak dari fenomena sosial yang bagaikan ranah kelam dan manusia berada dalam situasi tak menentu, gelap tanpa harapan. Namun, melalui lukisan “Toward Light”, Gusti Buda menyampaikan pesan bahwa dalam setiap kegelapan, cahaya sekecil apa pun bisa dimaknai sebagai harapan.
Empat perupa telah menyuguhkan tanda hatinya. Yakni, karya-karya yang mewakili cerminan hati nurani masing-masing perupa ketika merespon berbagai persoalan, baik yang bersumber dari dalam diri maupun luar diri. Selanjutnya, terserah apresian memaknai kembali masing-masing tanda hati itu. Semoga berguna.


Oleh :
Wayan ‘Jengki’ Sunarta
Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah seni lukis di ISI Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar