Minggu, 31 Oktober 2010

= Solo exhibition "Balada Jiwa" by Anwar Djuliadi


Waktu
18 Oktober jam 18:30 - 31 Oktober jam 18:00

TempatHanna Art Space
Pengosekan, Ubud - Bali. (area pompa bensin/petrol station area)
Ubud, Indonesia

Dibuat oleh:

Info Selengkapnya
SENI LUKIS ANWAR DJULIADI

Oleh Arif Bagus Prasetyo


Dilahirkan sebagai putra sulung mendiang Nashar, pelukis legendaris Indonesia, Anwar Djuliadi sebetulnya tak pernah mengira akan mengikuti jejak bapaknya menjadi seorang pelukis. Ia memang dibesarkan di lingkungan kesenian. Sejak kecil, Anwar biasa ditugasi ayahnya memasang kanvas pada span, sesekali juga coba-coba melukis, masuk ke gelanggang aktivitas kreatif dan lingkaran pergaulan sang ayah di sentra-sentra kesenian di Jakarta. Namun minatnya di masa muda bukanlah menjadi seorang pelukis seperti Nashar. Energi mudanya justru tercurah ke dunia seni peran. Ia pernah aktif di berbagai sanggar drama, antara lain Teater Populer yang dipimpin almarhum sutradara besar, Teguh Karya.
Nashar wafat pada 1994. Empat tahun kemudian, Anwar hijrah ke Bali. Di Pulau Dewata inilah ia merasakan panggilan jiwa yang sangat kuat untuk melukis dan terus melukis. Darah pelukis yang sekian lama terpendam dalam dirinya akhirnya menemukan kanal pelepasan. Pameran Lukisan “Balada Jiwa” adalah pameran tunggal ketiga dalam perjalanan karier Anwar sebagai pelukis.
Pelukis Anwar adalah anak kandung pelukis Nashar, demikianlah faktanya. Fakta biografis ini menjadi modal yang luar-biasa bagi Anwar, tapi sekaligus beban yang tak ringan. Nashar boleh dibilang adalah “guru” pertama dan utama Anwar di bidang seni lukis. Anwar menyerap ilmu melukis dan sikap berkesenian dari Nashar. Namun hubungan mereka tak pernah seperti guru dan murid. Meskipun Nashar juga seorang pendidik seni lukis, ia tak pernah mendorong Anwar untuk menjadi pelukis, apalagi mengajarinya melukis. Secara fisik, Anwar memang cukup dekat dengan ayahnya, tapi kedekatan ini tidak mampu memupus besarnya keseganan atau bahkan keminderan Anwar terhadap sang bapak. Bakat melukis yang diwarisi dari Nashar, pengalaman hidup bersama Nashar dan kenangan tentang Nashar, memang merupakan modal yang tak ternilai harganya bagi Anwar. Tetapi di luar itu, sesungguhnya Anwar praktis berjuang sendiri untuk menjadi pelukis.
Di sisi lain, kebesaran nama Nashar meninggalkan beban berat di pundak Anwar. Publik seni rupa di Tanah Air hampir tak mungkin memandang kehadiran Anwar di dunia seni lukis tanpa teringat kepada ketokohan Nashar. “Jangankan di seni lukis. Dulu, di teater, suatu ketika saya ditulis koran. Banyak yang iri. Saya dibilang mendapat publikasi cuma karena saya anaknya Nashar,” kata Anwar. Boleh jadi, aktivitas Anwar di dunia teater dulu sebagian didorong oleh keinginan untuk berkesenian tanpa dihantui bayang-bayang kebesaran sang ayah. Tapi ketika belakangan Anwar memilih menjadi pelukis, bayang-bayang Nashar harus rela diterimanya sebagai berkah dan sekaligus risiko. Jika seni lukis Nashar adalah sebuah pergulatan dengan diri sendiri, maka Anwar harus melukis dalam pergulatan dengan diri sendiri maupun bayang-bayang almarhum ayahnya.
Anwar terang-terangan mengakui bahwa Nashar memberikan pengaruh besar pada dirinya. Secara stilistik maupun tematik, karya lukis Anwar mengingatkan pada lukisan Nashar, misalnya dalam hal pemilihan subjek (abstraksi alam, wajah manusia, topeng), rasa warna, irama garis, atau nada suasana. Seperti ayahnya, Anwar juga menaruh kepercayaan besar pada kekuatan intuisi dan spontanitas ekspresi. Ia melukis untuk menuturkan kata hati secara polos, apa adanya, tanpa dibebani kaidah-kaidah keindahan formal ataupun konsep-konsep yang dinalar secara ketat.
Lebih dari itu, Anwar juga seperti meneladani gaya hidup ayahnya yang dikenal bohemian, tak gentar mengarungi ketidakmenentuan hidup demi mengejar obsesi berkesenian yang membakar dada. Jauh dari kehangatan keluarga, Anwar hidup sendirian bersama lukisan-lukisannya yang memenuhi sepetak kamar kosnya yang lembab dan sumpek di Ubud. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Anwar paling banyak mewarisi gen Nashar. Betapa pun, Anwar yakin bahwa kepribadian dan karyanya tetap berbeda dari Nashar. “Tiap orang pasti punya sidik jari yang tidak sama dengan orang lain. Yang penting saya terus berkarya. Selanjutnya biarlah publik yang menilai,” tegasnya.
Banyak orang mengatakan lukisan Anwar mirip karya Nashar. Anwar secara jujur mengakui itu. Pada kenyataannya, Anwar memang menjadi pelukis dengan berbekal “pelajaran” seni lukis yang selama bertahun-tahun direguknya secara langsung dari Nashar, walaupun ia tidak pernah dididik secara khusus oleh sang ayah. Sangat wajar jika lukisan-lukisannya terpengaruh karya Nashar. Setidaknya sampai sekarang, Anwar tak ingin memberontak dari cengkeraman pengaruh prestasi artistik ayahnya.
Namun demikian, Anwar bukan sekadar meneruskan gaya lukis Nashar. Ia berusaha melakukan pengembangan-pengembangan inovatif. Komposisi, struktur, pola, tata ruang dan olah warna lukisan Anwar secara umum lebih rumit dan lebih “ramai” daripada lukisan Nashar. Dibanding bapaknya, Anwar tampak lebih bebas menganyam garis, merakit bentuk dan memecah warna pada bidang piktorial. Jika Nashar cenderung mencari kemurnian ekspresi dalaman (interior), Anwar berani merangkul efek-efek dekoratif luaran (eksterior) sebagai bagian integral dari bahasa artistiknya.
Seni lukis adalah sarana eksistensial Anwar untuk mengungkapkan kondisi kejiwaan yang kompleks dan sangat personal melalui interaksi dramatis dari garis, bentuk dan warna. Setiap goresan garis, torehan warna dan sapuan kuas dieksekusi seiring gerak dan geletar perasaan dan pikiran sang pelukis tentang keadaan dirinya, dunia sekitar, maupun hal-hal yang berkembang pada kanvas di sepanjang proses melukis itu sendiri. Apa yang dilukis tidaklah begitu penting dibanding apa yang bergejolak dalam hati dan benaknya pada saat melukis.
Terlahir dari aneka rangsang dan dorongan psikis yang tidak selalu dapat dirumuskan dengan jelas, lukisan Anwar bukan untuk dimengerti, melainkan untuk dirasakan. Di setiap tarikan garis dan pulasan warna yang seolah berdenyut oleh tegangan emosi, Anwar melantunkan gairah dan gelisahnya, harapan dan angan-angannya, sukacita dan dukalaranya. Setiap elemen visual dari lukisannya ibarat notasi yang menembangkan dinamika jiwa dalam perjalanan hidup yang berliku-liku dan bercabang-cabang, tak pernah serupa garis lurus dengan titik keberangkatan dan titik tujuan yang terpatok dengan pasti. Bagaikan gurat-gurat abstrak pada telapak tangan, lukisan Anwar mengatakan sesuatu tentang misteri kehidupan, rahasia waktu, pesona dan kutuk perubahan.
Kendati berkarakter abstrak, lukisan Anwar tidak menihilkan representasi. Pada karya-karyanya gampang ditemukan bentuk-bentuk sederhana yang berasosiasi dengan objek-objek di dunia nyata, misalnya wajah manusia, mata, bibir, tangan, kaki, pohon, binatang, rembulan dan sebagainya. Anwar tidak berpaling dari realitas. Hanya saja, ia tidak melukis berdasarkan pada apa yang dilihat oleh matanya, melainkan pada apa yang ditangkap oleh jiwanya yang gelisah, terus-menerus mengembara di lorong-lorong pengalaman, persepsi, emosi, pikiran, intensi, memori, impian dan imajinasi.
Seni lukis Anwar mementaskan ensambel garis dan warna yang membersit dari dalam diri, tanpa partitur, tanpa alur yang menetapkan awal dan akhir. Sebuah ungkapan jiwa yang senantiasa bergerak dan meriak, mengalir dan mengalun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar